Sabtu, 18 April 2009

FULUS DARI MINYAK JELANTAH

majalahpengusaha.com
Jangan buang sisa minyak goreng yang Anda pakai. Lewat pemrosesan yang sederhana, ternyata produk tersebut bisa diolah menjadi biodiesel yang bagus untuk bahan bakar alternatif. Permintaan dalam negeri cukup besar dan harganya pun cukup oke. Gita Indah W
Perlahan-lahan bus kota Transpakuan, bus penumpang milik Pemkab Bogor itu meninggalkan halte dekat terminal Baranangsiang. Dari knalpotnya, keluar asap yang warnanya agak keputih-putihan tidak hitam pekat seperti lazimnya mesin diesel yang kita kenal. Bau gas buangnya juga tidak seperti bau solar, namun seperti bau minyak goreng. Dan yang lebih bagus lagi, asap yang ditimbulkan dari knalpot itu tidak membuat mata pedih. Bus tersebut telah menggunakan bahan bakar biodisel jelantah, sebuah enerji alternatif yang dikembangkan dengan bahan baku limbah minyak goreng (jelantah).
Adalah Hasim Hanafie, vice CEO Hotel Salak The Heritage, Bogor, yang memulai pembuatan bahan bakar ini di Bogor. Eksperimen untuk membuat bahan bakar alternative ini dimulai sejak tiga tahun lalu. Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan mengembangkan rekayasa engineering adalah alasan utamanya. Sebelum membuat biodiesel, Hanafie dan kawan-kawannya telah membuat system irigasi lewat kincir angina di Indramayu, Jabar. Air dari dalam tanah dipompa lewat kincir angina untuk dialirkan ke sawah-sawah. Sukses dengan program tersebut, dia bersama-sama teman seprofesinya, yang kebetulan para insinyur, kemudian membuat bahan bakar dengan memanfaatkan sisa minyak goreng. “Sebetulnya kami tertarik dengan bahan nabati lain, namun biayanya sangat mahal dan butuh waktu. Sementara kebutuhan bahan bakar substitusi sangat mendesak. Ya akhirnya, kami menemukan limbah minyak goreng ini,” ujarnya.
Dengan keahlian rekayasa engineering, Hanafie dan kawan-kawan memulai pembuatan biodiesel jelantah tersebut. Semuanya, termasuk alat untuk proses produksi dibuat lewat kreativitas dengan memakai bahan baku dalam negeri. Selain itu, dia juga melibatkan institusi pendidikan lain, yakni Institut Pertanian Bogor (IPB). Percobaan demi percobaan dilakukan. Proses produksi biodisel sangat sederhana. Minyak jelantah diambil lalu dicampur dengan methanol (alkohol) dan diolah dalam mesin khusus. Dalam proses ini kadar air berhasil dikurangi dan minyak jelantah yang sudah ‘dimurnikan’ tersebut bisa dipakai sebagai bahan bakar.
Hanafie membuat prototype mesin yang dipakai untuk proses pembuatan biodisel jelantah tersebut berkapasitas 20 liter. Setelah itu, ujicoba dilakukan lewat kendaraan operasional milik Hotel Salak. Dan, hasilnya sangat memuaskan. Mobil yang digunakan, ternyata tidak ada masalah. Polusi yang ditimbulkan relatif kecil ketimbang menggunakan solar. Selain itu, manfaat yang dipetik cukup besar. Tidak hanya dari segi biaya, tapi juga emisi gas buang yang ditimbulkan sangat rendah.
Hari Harsono, Direktur Transpakuan, dalam sebuah wawancara televise mengemukakan bahwa sejak menggunakan bahan bakar biodiesel, perusahaan tidak pernah mengalamai kendala operasional. Biodisel tersebut diujicobakan pada bus Transpakuan, yakni dengan komposisi 30% minyak jelantah dan 70% solar, ternyata tidak berpengaruh sama sekali. “Kondisi mesin sama sekali tidak terganggu,” ujarnya.
Hasil penelitian yang dilakukan IPB juga menyebutkan bahwa minyak jelantah telah memenuhi standar biodiesel. Selain mengurangi polusi udara, biodiesel jelantah tersebut mengurangi asap. “Pengaruh minyak jelantah biodiesel terhadap kendaraan sama seperti biodiesel yang dibuat dari bahan lain,” kata Erliza Hambali, salah satu peneliti IPB.
Pemerintah Jepang, tampaknya tertarik dengan produk biodiesel jalantah dari Bogor ini. Dalam sebuah seminar yang berlangsung pada 21 September lalu di Hotel Salak, lewat pemkot Kyoto, mereka mengajak kerjasama dalam program Clean Development Management (CDM). Kelak, jika program tersebut terealisir, pemkot Kyoto akan menggunakan biodisel jelantah untuk kendaraan di kota tersebut. Selama ini, tambah Hanafie, pemkot Kyoto telah melakukan ujicoba bahan bakar biodisel jelantah tersebut. Namun, hasilnya masih belum memuaskan. Masih terdapat kendala, yakni tersumbatnya filter bahan bakar. Sedangkan hasil ujicoba dua kendaraan, yakni Isuzu Panther dan Daihatsu Taft Hiline, tidak ada masalah. Hanafie tidak menambahkan peralatan lain sebagai konversi penggunaan bahan bakar. Semuanya sesuai dengan standar pabrik. Padahal, ujicoba tersebut sudah tiga tahun. “Akhirnya mereka tertarik kesini,” ujarnya.
Menariknya, minyak jelantah ternyata tidak hanya menghasilkan biodiesel saja, namun dari residu hasil pengolahannya bisa dibuat produk lain, seperti sabun, misalnya. Hanafie mengaku, sementara pihaknya masih berkonsentrasi pada biodiesel jelantah. Bahan bakar tersebut masih dikonsumsi dilingkungan terbatas, yakni Pemkot Bogor, Hotel Salak dan beberapa pihak yang membutuhkan termasuk The Heritage Foundation. “Sekarang kami baru bisa memasok sekitar 1000 liter dalam sebulan,” katanya.
Sayangnya, bahan alternatif yang menjanjikan ini masih terkendala dengan bahan baku. Untuk memperoleh minyak jelantah, pihaknya masih membeli dari para pengepul dengan harga Rp 2500 per liternya. Limbah minyak goreng dari hotel atau restoran-restoran cepat saji, masih terbatas. Akhirnya, produksi tidak maksimal.
Meski begitu, untuk usaha kecil, membuat biodisel dari minyak jelantah ini sangat prospektif. Permintaan dalam negeri cukup besar. Sementara total biaya produksi hanya sekitar Rp 6 ribu per liternya. Sementara harga jualnya, termasuk pihak Pertamina yang akan membeli hasil minyak jelantah itu Rp 7 ribu/liternya. “Investor harus membeli peralatan untuk pemrosesan minyak jelantah tersebut,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar