Sabtu, 18 April 2009

Bahaya penggunaan limbah minyak jelantah yang umum di masyarakat

minyakjelantah.com
Keluarga Pak Joko adalah penggemar berat ikan asin. Ketika krismon datang mendera, perekonomian keluarga pegawai negeri golongan I ini ikut morat-marit. Jangankan daging, ikan asin pun hampir tak terbeli lagi. Untuk penawar keinginan, Bu Joko membeli sedikit ikan asin dan menggorengnya. Tetapi karena minyak goreng juga tak terbeli, dia pakai minyak yang sudah berkali-kali dipakainya. Jadilah mereka makan nasi dengan lauk ikan asin berjelantah. Bagi mereka, itu sudah luar biasa lezatnya.
Lain lagi dengan Pak Acep, sebagai pedagang gorengan, keuntungannya merosot tajam dengan meroketnya harga minyak goreng. Untuk tetap bertahan dan mendapat keuntungan, minyak goreng yang biasanya hanya dia pakai 2-3 kali dipakainya terus sampai warnanya hitam dan tidak layak pakai lagi.
Sulit Dihindari
Penggunaan jelantah, atau minyak goreng yang telah digunakan lebih dari sekali untuk menggoreng, adalah hal yang biasa di masyarakat. Sebagian orang berpendapat makanan yang dicampur jelantah lebih sedap. Sebagian lagi karena keterdesakan ekonomi, apalagi masa-masa krismon seperti ini.
Minyak goreng memang sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Makanan yang digoreng biasanya lebih lezat dan gurih, tanpa membutuhkan tambahan bumbu bermacam-macam. Berbeda dengan masakan yang dimasak dengan cara lain seperti kukus, rebus, atau panggang. Dengan demikian, menggoreng adalah cara yang paling praktis untuk memasak. Tidak heran bila banyak ibu rumah tangga tergantung pada minyak goreng, sampai antri pun dijalani hanya untuk mendapatkan 1 kg minyak dengan harga agak murah.
Selain merupakan penyedap masakan, minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas dan penambah nilai kalori bahan pangan. Akhir-akhir ini dimunculkan jenis-jenis minyak goreng nabati yang dipromosikan mengandung asam-asam lemak tak jenuh. Dari fungsi nutrisinya, asam-asam lemak tak jenuh dapat menurunkan kolesterol, penyumbatan pembuluh darah dan pembuluh jantung, dengan alasan inilah Asosiasi Kedelai Amerika Serikat (ASA) pernah berusaha mencegah masuknya minyak goreng dari negara-negara tropis yang berbahan kelapa dan sawit. Asosiasi ini menganggap minyak tropis mengandung asam lemak jenuh lebih dari 25%.
Yang perlu menjadi catatan, umumnya minyak goreng digunakan untuk menggoreng dengan suhu minyak mencapai 200-3000C. Pada suhu ini, ikatan rangkap pada asam lemak tidak jenuh rusak, sehingga tinggal asam lemak jenuh saja. Resiko terhadap meningkatnya kolesterol darah tentu menjadi semakin tinggi. Selain itu vitamin yang larut di dalamnya seperti vitamin A,D,E, dan K ikut rusak. Yang jelas, fungsi nutrisi dari minyak goreng menjadi jauh menurun, bahkan berpengaruh negatif terhadap tubuh.
Minyak goreng yang telah digunakan, akan mengalami beberapa reaksi yang menurunkan mutunya. Dalam Winarno (1986) disebutkan bahwa mutu minyak goreng tergantung dari titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein. Akrolein adalah sejenis aldehid yang tidak didinginkan karena dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Minyak yang telah digunakan untuk menggoreng akan mengalami peruraian molekul-molekul, sehingga titik asapnya turun. Bila minyak digunakan berulangkali, maka semakin cepat terbentuk akrolein sehingga membuat batuk orang yang memakan hasil gorengannya.
Jelantah juga mudah mengalami reaksi oksidasi sehingga jika disimpan cepat berbau tengik. Selain itu jelantah juga disukai jamur aflatoksi sebagai tempat berkembangbiak. Jamur ini menghasilkan racuk aflatoksin yang dapat menyebebkan berbagai penyakit, terutama hati/liver.
Salah satu yang paling berbahaya, minyak goreng yang dipanaskan hingga 3000C kemudian teroksidasi, dapat memacu pertumbuhan sel kanker pada hati. Pertumbuhan sel yang tidak terkendali pada hati membuat hati tidak dapat menjalankan fungsi hati dengan baik. Padahal kita tahu, fungsi hati sangat banyak. Antara lain mengatur keseimbangan cairan elektrolit dalam tubuh, mengatur volume darah agar tetap stabil, juga sebagai penyaring semua makanan yang telah diserap dalam alat pencernaan.
Selain itu hati juga berfungsi sebagai pusat metabolisme. Juga alat sekresi untuk mengeluarkan glukosa, protein dan faktor pembekuan darah. Yang sangat penting, hati berfungsi sebagai pusat detoksifikasi, yaitu menetralkan setiap racun yang masuk tubuh.
Melihat begitu banyak ragamnya fungsi hati, bisa dimengerti bagaimana payahnya tubuh bila hati terserang kanker dan tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Repotnya, fungsi organ hati tidak bisa diambil alih oleh organ lain. Berbeda dengan ginjal, kalau ginjal kiri kepayahan masih bisa dioper fungsinya oleh ginjal sebelah kanan. (Muchlis 1992)Dengan demikian kita memang harus bijak menentukan sikap. Minyak goreng mahal, benar. Tetapi kesehatan jauh lebih mahal, bahkan merupakan nikmat yang berharga. Karena itu penggunaan minyak jelantah harus kita batasi. Setelah dipakai menggoreng 2 kali atau warnanya mulai menghitam, sebaiknya jangan digunakan lagi, baik untuk menggoreng atau untuk campuran sambal. Ketika menggoreng, usahakan suhu tidak terlampau panas, apalagi sampai gosong dan berasap. Pada umumnya suhu penggoreng adalah 177-2210C (Winarno, 1986)
Konsumen selama ini hanya mengenal bahaya formalin yang sempat dicampur ke dalam bahan makanan sebagai pengawet. Namun jarang diketahui minyak jelantah, yang tak kalah bahayanya dengan formalin karena sama-sama menyebabkan kanker pada manusia. Minyak goreng bekas yang sudah dipakai 3-4 kali ini (jelantah) belakangan ini cenderung dipakai menggoreng makanan seperti kerupuk atau ayam sari laut karena harganya lebih murah ketimbang minyak goreng biasa.
Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia cabang Bali, Drs. Made Sukada, mengatakan hal itu Jumat (12/5) lalu di Denpasar. ''Masyarakat selama ini tak menyadari bahaya minyak jelantah. Biasanya gejala setelah makan, kerongkongan gatal atau serak-serak. Lama-kelamaan kalau dibiarkan akan menjadi kanker,'' kata Sukada yang beberapa waktu lalu terpilih sebagai Ketua PKP Indonesia cabang Bali.
Sesuai hasil penelitian, minyak jelantah mengandung gugusan benzena yang bisa menyebabkan munculnya kanker. Senyawa ini mengandung dioksin yang masuk melalui sel-sel tubuh. ''Pedagang sari laut atau kerupuk goreng kalau ketahuan memakai menyak jelantah, pasti izinnya dicabut,'' katanya. Persoalannya, pengawasan oleh lembaga terkait atas penggunaan minyak jelantah di lapangan sangat lemah sehingga konsumen tak mendapatkan perlindungan semestinya. ''Jangankan pengawasan, sosialisasi mengenai pemanfaatan minyak jelantah masih sangat kurang,'' tegasnya.
Sebenarnya minyak goreng bekas ini sudah tak layak dipakai untuk menggoreng jika sudah 3-4 kali digunakan. Namun lantaran harganya murah, para pedagang menggunakan lagi untuk menggoreng makan camilan seperti kerupuk. Minyak jelantah cukup mudah dikenali karena warnanya lebih hitam dibandingkan minyak goreng yang baru dipakai 1-2 kali.
Meski belum ada angka pasti, dia menduga di Bali sangat banyak dihasilkan minyak jelantah terutama dari hotel-hotel atau makanan siap saji. Sebagai gambaran, restoran siap saji seperti KFC atau MC di Bali berdrum-drum menghasilkan minyak jelantah. Namun, tak banyak yang mengamati ke mana penyalurannya. Kemungkinan besar minyak jelantah ini dijual kepada pedagang lain yang memerlukan. Alasannya saderhana ketimbang dibuang dan membahayakan lingkungan, lebih baik dijual kendati harganya murah.
Sebaiknya lembaga konsumen atau dinas terkait perlu mewaspadai pendistribusiannya karena bisa membahayakan konsumen. Minyak jelantah, menurutnya, harus didaur ulang menjadi biodisel. Sebab kalau dibuang begitu saja ke lingkungan juga membahayakan. Saat ini daur ulang minyak tersebut mulai dilakukan koperasi langit biru di Jalan Tulip. ''Kami juga bekerja sama dengan Unud mengembangkan jarak untuk menghasilkan biodiesel sebagai bahan bakar pengganti BBM,'' kata mantan Damdim Timor Tengah Utara ini. (029).
(Sumber: http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/5/14/b1.html)

Hasil penelitian pelajar di Surabaya tentang bahaya limbah minyak jelantah juga tak kalah menarik. Sinta, Wizar dan Alfan mengangkat tema pencemaran ini mengingat tingkat pencemaran Sungai Brantas yang mengalir di belakang rumah sangat mengkhawatirkan. “Topik penelitian ini kami temukan secara tidak sengaja karena banyak ikan kecil yang mati saat berada di genangan limbah rumah tangga di belakang rumah”. Ditambahkan, salah satu produk limbah rumah tangga itu adalah minyak goreng bekas (jelantah). Dalam kadar 40 persen minyak jelantah ini mampu mematikan hampir 50 persen ikan di sungai. “Minyak jelantah ini membuat ketersediaan oksigen dalam air menjadi berkurang. Kalau dibiarkan terus bisa-bisa tidak akan ada lagi ikan yang hidup di sungai” (Sumber: http://surya.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=22375)

1 komentar:

  1. assalamualaikum, mas Prayitno kalo saya boleh tau apa nama penelitian yang dilakukan oleh Sinta, Wizar dan Alfan ini berkaitan dengan limbah minyak jelantah, karena saya butuh referensi untuk mendalami soal apa dampak dari limbah minyak jelantah terhadap lingkungan, mohon bantuannya ya mas terimakasih

    BalasHapus